Awal kehidupannya Solahuddin adalah anak muda pada umumnya. Keadaan ini terus berlanjut sampai ketika menyertai pamannya Asaduddin Syirkuh, yang merupakan panglima tertinggi tentara Nuruddin dalam sebuah ekpedisi ke Mesir.
Di sinilah Shalahuddin mulai bersentuhan langsung dengan tarbiyah militer yang berpihak pada Islam. Shalahuddin menggambarkan kondisi kejiwaannya saat mulai bergabung dengan pasukan ini seperti berikut,
“Sebenarnya aku sangat tidak suka untuk bergabung dengan pasukan dalam misi pernyerbuan kali itu. Keikutsertaanku bersama paman bukan didorong oleh pilihanku sendiri. Inilah hikmah yang dapat diambil dari firman Allah:
وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(Al-Baqarah:216)”
As-Subki menegaskan terdapat perubahan pada kepribadian Shalahuddin, ia menyatakan,:“Saat Shalahuddin memutuskan untuk bergabung dengan pasukan Nuruddin, ia telah meninggalkan gaya hidup yang bergelimang kenikmatan.” Maka, saat itulah terjadi perubahan radikal pada diri Shalahuddin berkat pengaruh bimbingan islami yang dialaminya dan pada saat itulah dia mulai menempatkan dirinya dalam arus gerakan Islam yang dipimpin oleh Nuruddin.
Karir militer Shalahuddin di Mesir terus menanjak, bahkan pada akhirnya ia memegang tampuk tertinggi Daulah Fathimiyah, setelah khalifah Al-‘Adhid (khalifah terakhir) meninggal dunia karena sakit. Pada masa ini akhirnya dia menjadi penguasa wilayah timur muslim tanpa diperselisihkan, juga komandan yang senantiasa diharapkan dalam berbagai pertempuran untuk membebaskan negeri umat Islam khususnya Palestina yang didalamnya terdapat masjid al-Aqsha
Menuju Pembebasan Masjid al-Aqsha
Semenjak wafatnya Nuruddin sultan di Syam, terbukalah berbagai kesempatan lebar bagi Shalahuddin untuk menyatukan dunia Islam di bawah satu pemerintahan. Allah memberikan kesempatan itu dan ia berhasil menguasai kerajaan besar mencakup Irak, Syiria, Mesir dan Barqah. Setelah itu, Shalahuddin mulai melakukan persiapan untuk memerangi orang Barat dan membebaskan Al-Quds.
Kasus pertama terjadi ketika Shalahuddin memerangi Reginald de Chatillon, raja Kark. Reginald menyerang kafilah dagang Shalahuddin pada 582 H. Padahal antara Shalahuddin dan pemerintahan negeri ini terjali perdamaian. Di antara klausul perdamaiannya adalah diizinkannya kafilah dagang Islam melintas dari Mesir ke Syiria atau sebaliknya dengan jaminan keamanan.
Shalahuddin marah besar dan bersumpah akan membunuh Reginald dengan tangannya sendiri. Setelah serangan keji ini, Shalahuddin mulai bersiap mengumpulkan pasukan. Saat itu adalah waktu kembalinya jemaah haji. Penguasa Kark bersiap-siap untuk memburu dan menyerang kafilah itu ketika kembali. Sementara itu, Shalahuddin juga bersiap-siap untuk melindungi mereka setelah mengumumkan jihad di semua penjuru negerinya. Para jamaah haji pun melintas dengan selamat dan mendoakan kemenangan bagi pasukan Shalahuddin.
Perang Hittin dan kemenangan Shalahuddin dan Umat Islam
Shalahuddin keluar dari Damaskus. Tatkala sampai di Ra’s Al-Maa’, dia menjadikannya markas untuk berkumpul pasukan. Putranya, Al-Malik Al-Afdhal, tetap berada di Ra’s Al-Maa’, sedangkan dia melanjutkan perjalanan ke Busra. Sementara itu, Muzahafarudin Kukubri bergerak ke Acre. Dari Busra, Shalahuddin bergerak ke benteng Kark dan Syaubak, kemudian kembali ke Tiberias. Dia senantiasa berusaha mengajak umat Islam berperang di jalan Allah. Shalahuddin tidak pernah tertawa, bahkan selalu bersedih.
Ketika ditanya mengenai sebab hal itu, dia menjawab,”Bagaimana saya bisa merasa senang, menikmati makanan dan tidur dengan tenang, sementara Jerussalem berada di tangan Pasukan Salib?” Al-Qadhi Baha’uddin bin Syidad, menggambarkan keadaannya ketika berperang melawan pasukan Salib. Dia berkata,”Bagi Shalahuddin, pendudukan Jerussalem adalah perkara penting yang tidak mampu dipikul oleh gunung.”
Pasukan Salib yakin bahwa Shalahuddin akan memerangi mereka. Para pemimpin mereka menyatukan langkah dan mengumpulkan pasukan. Mereka bergerak ke Tiberias dan bertemulah dua pasukan besar ini di sebuah tempat yang bernama Hittin. Terik matahari yang membakar mulai menyebar. Keadaan ini dimanfaatkan pasukan mujahidin menyerang pasukan Salib yang kehausan karena para ksatria Islam telah menguasai sumber air. Dalam sebuah strateginya, Shalahuddin berhasil memisahkan pasukan kavaleri berkuda dengan pasukan infantri. Pasukan musuh terpaksa mundur karena serangan sporadis yang mereka terima. Setelah terjadi pertempuran sengit antara dua pihak, Shalahuddin meraih kemenangan mutlak.
Dengan kekalahan tersebut, hanya ada dua pilihan bagi pasukan salib, terbunuh atau tertawan. Para pemimpin salib hampir semuanya ditawan kecuali Balian D’Ibelin, Raymond III Tripoli, dan Joscelyn de Courtnay. Para pemimpin yang ditawan adalah Guy of Lusignan sebagai Raja Yerusalem, Reynald du Chattilon, Gerard de Ridefort, Uskup Lidde, Humphrey II de Toron, pemimipin ordo Hospitaller dll.
Kemudian Shalahuddin berdiri dan mencela perbuatan buruk Reynald de Chatillon terhadap kafilah kaum muslim dan tindakan pelecehannya terhadap Rasulullah. Shalahuddin menawarkan Islam kepadanya tetapi ia menolak. Akhirnya Shalahuddi memenggal leher Reginald dengan tangannya sendiri untuk melaksanakan janji dan sumpahnya karena menghina Rasulullah saw.
Berakhirlah perang Hittin dan kemenangan mutlak di tangan para mujahidin. Setelah itu pasukan Shalahuddin bergerak ke pelabuhan Acre. Kemudian menaklukkan kota-kota yang dahulunya dikuasai pasukan salib: Acre, Tabnain, Sidon, Jubail, Beirut, Askalon, Ramlah, Ad-Darum, Gaza, Bethlehem dan An-Natrum.
Terbebasnya masjid al-Aqsha dari kekuasaan salib
Sampailah Sultan Shalahuddin pada tujuan utamanya yaitu merebut kembali Baitul Maqdis. Beliau mengepung Jerussalem selama empat puluh hari, membuat penduduk di kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan mengalami kekurangan bahan pokok dan makanan. Waktu itu Jerussalem dipenuhi dengan orang-orang pelarian perang Hittin. Tentara pertahanannya sendiri tidak kurang dari 60,000 orang.
Akhirnya orang-orang salib itu yakin bahwa kemenangan tidak akan memihak kepadanya tetapi kepada kaum muslimin. Mereka kecewa setelah melihat daya juang umat Islam yang tidak takut mati. Kemudian mereka cenderung untuk berdamai, dan merekapun memilih berdamai. Shalahuddin mengirimkan beberapa utusan kepada penduduk Al-Quds untuk meminta mereka menyerahkan kota ini dengan beberapa syarat yang dia tentukan. Shalahuddin menyampaikan pada mereka,”Sesungguhnya saya benar-benar meyakini bahwa Jerussalem adalah rumah Allah yang suci sebagaimana yang kalian yakini. Saya tidak ingin menimpakan kerusakan kepada rumah Allah ini dengan memblokade atau menyerangnya.”
Syarat-syarat perdamaian :
- Penduduk Baitul maqdis yang laki-laki harus membayar 10 dinar, 5 dinar bagi wanita dan 2 dinar bagi anak-anak.
- Orang yang tidak mampu membayar tebusan, maka menjadi tawanan perang
- Semua hasilbumi, senjata dan rumah menjadi hak milik kaum muslimin dan orang-orang kristen pindah ke tempat-tempat yang aman bagi mereka yaitu kota tsur.
- Siapa yang tidak mentaati syarat-syarat ini dalam jangka waktu 50 hari akan menjadi tawanan.
Perdamaian ditandatangani dengan syarat diatas. Sultan Shalahuddin memasuki al-Quds pada hari jumat tanggal 27 Rojab 583 H/1187M. Sungguh Perlakuan baik diperagakan Shalahuddin kepada para penduduk Al-Quds. Kontras dengan apa yang dilakukan pasukan Salib ketika menduduki Al-Quds dengan genangan darah.
Shalahuddin mendatangkan Muhyiddin bin Az-Zaki untuk menjadi khatib Masjidil Aqsha pada hari jumat yang agung di Masjidil Aqsa. Kemenangan ini disambut suka cita oleh seluruh kaum muslimin saat itu. Al-Aqsa kembali difungsikan menjadi masjid setelah sekian lama tidak digunakan.
Saat ini Al-Aqsa kembali tertawan oleh musuh Allah. Orang-orang Yahudi menjarah dan merampok tanah umat Islam di Palestina. Umat Islam menunggu lahirnya generasi Shalahuddin yang baru untuk menaklukkan kembali Al-Aqsa ke dalam pangkuan umat Islam.
Dr. Muqoddam Cholil, MA.