Hari-hari ini di bulan suci Ramadhan perjuangan rakyat Palestina benar-benar dalam masa puncaknya. Pada hari Selasa kemarin Jalur Gaza mengalami serangan pemboman dari pejajah Zionis Israel. Tak pelak serangan ini menambah deretan korban meninggal dari rakyat sipil Palestina dan kerugian materil yang menambah luka rakyat Palestina yang sudah terlebih dulu jatuh dalam beban penjajahan.
Diawali dengan sebuah langkah politik Donald Trump yang memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem dalam rangka pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel. Langkah politik yang sangat tidak populer karena keputusan ini melanggar konsensus hukum Internasional, berpihak pada penjajahan Israel, mengakibatkan pergolakan politik dunia dan memancing kekerasan antara penjajah Zionis Israel dan Palestina.
Beban-beban ini semakin berat dengan makin terkungkungnya Masjid Al-Aqsha dan Baitul Maqdis dari penguasaan penjajah Zionis Israel. Di satu sisi negara-negara di sekitar Palestina justru sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri bahkan justru menjadi beban karena kedekatan mereka dengan penjajah Zionis Israel.
Setelahnya terjadi demostrasi “Great March of Return” di Jalur Gaza dalam menuntut “Hak untuk Kembali ke Rumah yang Dirampas”. Satu persatu rakyat Palestina gugur. Bahkan wartawan yang bertugas meliput pun tak lolos dari tembakan pasukan Israel.
Komisaris Jenderal Badan Independen Hak Asasi Manusia (ICHR), Issam Younis Dalam konferensi pers di depan markas Badan HAM Palestina di Gaza pada, Kamis (5/4/2018) menegaskan bahwa tentara penjajah Israel dengan sengaja membunuh para penduduk Palestina dengan menargetkan mereka secara langsung. Hal ini dapat dibuktikan dengan luka-luka di bagian atas tubuh, terutama di bagian kepala, leher dan dada. Younis mengutuk tindakan tentara penjajah Israel karena menggunakan kekuatan yang sangat berlebihan terhadap para demonstran damai di dekat perbatasan Gaza”.
Dunia cukup melihat dengan mata mereka bahwa yang hidup di Gaza adalah pengungsi. Di mana mereka dibersihkan secara etnis oleh pasukan Israel dalam operasi militer paling kejam di abad ke-20. Bahkan Israel menolak mematuhi resolusi PBB, termasuk Resolusi Majelis Umum 194 tahun 1948, dan mengabaikan hukum dan konvensi internasional, serta hak asasi manusia.
Warga Palestina yang tinggal di Jalur Gaza menolak untuk menyerah dalam keadaan apa pun. Keteguhan ini telah mendorong para pemimpin Israel untuk mencanangkan pemusnahan massal atas rakyat Gaza. Keinginan Israel ini digambarkan oleh mantan Perdana Menteri Yitzhak Rabin, yang berharap dia bisa bangun pada suatu pagi dan menemukan Jalur Gaza tenggelam ke laut. Di kemudian hari Yitzhak Rabin dibunuh oleh seorang fanatik Israel, dan Gaza tetap teguh tahun demi tahun.
Pada hari ini orang-orang Palestina belum mengangkat bendera putih dan mereka tidak akan meninggalkan hak-hak mereka. Sebaliknya, hari ini mereka telah mengirim pesan yang jelas tentang pembangkangan dan tekad kepada Israel dan seluruh dunia.
Inilah saatnya bagi dunia untuk untuk menolak keberadaan Zionis Israel sebagai anggota sah dari dunia Internasional. Sebagaimana dulu dunia Internasional memboikot dan mengecam apartheid di Afrika Selatan.
Perdana Menteri Israel yang pertama, David Ben Gurion, mengatakan pada tahun 1948: “Kita harus melakukan segalanya untuk memastikan bahwa orang-orang Palestina tidak akan pernah kembali.” Memberikan janji kepada Yahudi Zionis bahwa orang-orang Palestina tidak akan pernah kembali ke rumah mereka. Dia mengklaim bahwa, “Orang tua akan mati dan anak muda akan lupa.”
Andai Ben Gurion ada hari ini, maka ia akan menyaksikan bahwa generasi muda Palestina belum lupa. Orang-orang yang mencintai keadilan di seluruh dunia pun tidak akan melupakan malapetaka yang menimpa pada orang-orang Palestina. Bahwa apartheid dan penjajahan atas Palestina akan berakhir.
Penulis : Iskandar Samaullah