Kamis pekan lalu (27/6/2019), media-media Palestina ramai memberitakan bentrokan yang terjadi di desa Issawiyyah, timur kota Al-Quds. Bentrokan dipicu oleh serangan aparat israel ke rumah-rumah penduduk Palestina. Tak mudah bagi penjajah untuk memasuki Issawiyah, karena para pemuda Palestina menghadang laju jip militer mereka dan menghujaninya dengan batu dan bom molotov.
Anak-anak muda berusia belasan hingga 20-an tahun menutup hidungnya dengan kaos, untuk meminimalisir efek gas air mata yang ditembakkan aparat israel. Keberanian para pemuda itu sungguh luar biasa, mereka berani mendekati kumpulan aparat yang tak segan menembaki orang-orang Palestina. Takdir telah dituliskan, seorang pemuda bernama Muhammad Abid menjemput syahidnya sore itu setelah peluru tajam israel menembus tubuhnya dari jarak tak lebih dari 10 meter.
Jasad Abid yang gugur di tengah medan laga semula akan dibawa rekan-rekannya pulang ke rumah orangtuanya. Namun dalam perjalanan, mereka dicegat para aparat israel, jasad Abid dirampas dan ditawan. Kita tentu tak habis pikir, untuk apa jasad yang tak lagi bernyawa dijadikan tawanan? Kalau dengan yang sudah mati saja israel takut, apalagi dengan yang masih hidup. Tindakan ini menjelaskan betapa pengecutnya mereka.
Setibanya di rumah orangtua Abid, teman-temannya hanya bisa menangis dan menceritakan apa yang terjadi. Namun orang tuanya tegar, bangga karena putranya gugur sebagai pejuang.
Tak lama berselang, tersiar kabar jasad Abid bisa diambil pihak keluarga dengan beberapa syarat. Orang tua Abid marah luar biasa, israel sudah membunuh putranya, lalu menawan jenazahanya, kini dengan angkuhnya memberikan syarat untuk mendapatkan kembali jasad anaknya. Betul-betul tindakan yang tidak berprikemanusiaan.
Syarat yang dikeluarkan penjajah israel itu adalah denda sebesar 25.000 shekel atau setara dengan 98,5 juta rupiah. Syarat lainnya, pemakaman Abid dilakukan di sore hari, sedangkan yang boleh hadir tidak boleh lebih dari 50 orang. Tidak boleh ada satupun dari mereka yang hadir dengan membawa bendera.
Tapi permintaan itu selamanya tidak akan dipenuhi keluarga Abid. Karena jiwa pejuang sudah terpatri dalam diri mereka dan kebanyakan warga Palestina, mereka menolak untuk mengiba kepada para penjajah. “Silahkan saja jasad itu ditawan, cepat atau lambat jasad anak itu akan kembali ke kami,” itu kata yang terucap dari sang Ayah sebagai jawaban terhadap syarat israel.
Gugur sebagai pejuang, atau bersabar hidup dalam sel-sel keji israel merupakan dua resiko berjuang di Palestina. Di usia 20 tahun, biasanya anak-anak muda sedang asyik di bangku kuliah, ada pula yang mengisinya dengan berbagai hiburan, bermain hp, games, laptop, hingga tak sedikit yang menyia-nyiakan masa mudanya. Tapi berbeda dengan anak muda di Palestina. Abid hanya satu contoh dari ribuan pemuda Palestina yang gugur dengan ketegeran hatinya. Usia muda telah ia gunakan untuk berjuang, membebaskan masjid suci Al-Aqsha dari tangan penjajah dengan nyawa sebagai taruhannya. Selamat jalan Abid. Allah tentu tak akan menyia-nyiakan pengorbananmu.
Muhammad Syarief