Keberkahan yang dikukuhkan Allah dalam ayat-Nya, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (Al-Isra’: 01)
Ibnu Jarir ath-Thabary menafsirkan keberkahan di atas dengan “negeri yang dikelilingi keberkahan bagi penduduknya, dalam aktifitas kehidupan, makanan serta tanaman-tanaman mereka”. Sementara Ibnu Katsir setelah menjelaskan letak Al-Masjid Al-Aqsha, beliau menafsirkan keberkahan meliputi buah-buahan dan tanam-tanaman yang ada di dalamnya.
Hadits dan Astar keberkahan negeri sekitar Masjidil Aqsha ini cukup banyak, di antaranya yang diriwayatkan oleh Abu al-Hasan ar-Rab’iy dalam Buku “Fadha’il Asy-Syam wa Dimasyqa” [h. 37] mengabadikan perkataan Abu Sallam al-Habsyi, “Sampai kepadaku [kabar] bahwa keberkahan di dalamnya dilipatgandakan”. Rasulullah Saw pernah berdo’a untuk negeri Syam, “Ya Allah berkahilah negeri Syam, berkalihah negeri Yaman” (HR. Bukhari, Tirmidzi dan Ibnu ‘Asakir). Nabi juga menerima isyarat lewat mimpinya bahwa negeri ini akan ditimpa fitnah sebagaimana fitnah tersebar di mana-mana tetapi iman akan tetap bercokol di dalamnya (lihat hadits riwayat Abdullah bin Amr bin Ash. HR Hakim dalam Mustadrak, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, juga Ibnu Asakir, al-Baihaqi dan Thabrani)*.
Secara fisik, keberuntungan yang disebut al-Quran serta beberapa hadits dan atsar di atas serta masih banyak lagi sebagai “keberkahan” yang diturunkan Allah di sekitar Masjid al-Aqsha tentu sulit dicapai. Salah satu caranya adalah dengan menjadi penduduk Syam, tinggal di sana atau beraktivitas di sana atau setidaknya berkunjung ke sana.
Namun, bisa jadi keberadaan fisik ini malah menimbulkan sesuatu yang kontra, karena tak sedikit orang-orang yang ada di sana, justru menjadi sumber berkurangnya keberkahan fisik. Karena perlakuan-perlakuan zhalim, sikap-sikap yang berlawanan dengan keterangan Allah dan Rasul-Nya. Terjadi penindasan, perlakuan dehumanisasi para penduduknya, kekerasan yang ditimbulkan dan sebagainya membuktikan bahwa keberkahan yang diturunkan Allah di sekitar masjid ini tak bisa dinikmati –bahkan- oleh orang yang berada secara fisik di dekatnya. Karena tafsiran “alladzî baraknâ haulahû” ternyata tidak serta merta berbentuk fisik yang berarti batas teritorial tertentu.
Para ulama dan pakar sejarah dari kalangan umat Islam telah banyak yang memformulasikan dan mendefinisikan secara geografis makna wilayah keberkahan di atas dengan Negeri Syam dengan sandaran-sandaran dalil hadits dan atsar. Pembicaraan tentang itu mungkin tidak dibahas dalam tulisan kali ini.
Penulis mencoba membuka makna keberkahan non geografis yang mungkin bisa dicapai oleh orang-orang yang berada jauh secara fisik dari Masjid al-Aqsha. Oleh beberapa ulama, terutama al-Maqdisiyyin (yang bermukim di kota al-Quds) menafsirkannya dengan berbagai upaya dan usaha untuk menjaga Masjid al-Aqsha sebagai bentuk usaha mencapai keberkahan Allah.
Artinya, pikiran, tulisan, aktivitas, harta benda dan segala yang ada; jika diarahkan untuk menjaga Masjid al-Aqsha, bukan tidak mungkin justru keberkahan Allah yang menghampiri kita. Apalagi saat ini Masjid al-Aqsha terancam secara fisik. Masjid ketiga yang disarankan Nabi Muhammad SAW untuk dikunjungi ini rawan dihancurkan, wilayah fisiknya didistorsis dengan penyelewengan fakta sejarah, penduduk-penduduk aslinya diusir dan dipenjara, pelan namun pasti tanah-tanah yang ada di sekitarnya diduduki dengan paksa dan ilegal, sementara dunia Internasional menutup mata. Jika pun ada simpati baru sekedar melalui pernyataan dan kecaman saja. Padahal secara sah, wilayah al-Quds merupakan wilayah netral yang tidak diberikan kepada pihal Israel maupun otoritas Palestina. Namun, pada kenyataannya wilayah yang hanya 0,5 % dari keseluruhan wilayah Palestina ini dikooptasi oleh Israel.
Jika demikian keterpanggilan kita pada permasalahan Masjid al-Aqsha akan menarik kita dalam orbit keberkahan. Jika dua puluh dua negara yang berada dalam wilayah Asia Pasifik pada sensus 2011 berpenduduk 2,199,850,085, kira-kira berapa persen dari umat Islam yang terpanggil oleh orbit keberkahan di atas. Jika menggunakan pendekatan yang lebih humanis maka pemutarbalikan fakta dan penghancuran situs yang dilindungi dan disucikan termasuk di dalamnya pembersihan etnis, adalah musuh kemanusiaan. Maka menjadi kewajiban setiap kita untuk mengkampanyekan pembebasan Palestina. Jika dengan pendekatan ideologis, maka sangat wajar pusaran orbit keberkahan bisa dijadikan salah satu bahan persuasif. Jika melalui pendekatan kemanusiaan, maka tindakan kekerasan, pengusiran termasuk ancaman langsung terhadap al-Quds dan penduduknya bisa dijadikan alat pemersatu untuk mengakhiri penjajahan dan pendudukan.
Nada sumbang yang disosialisasikan adalah kekhawatiran pihak “non muslim” jika Umat Islam kembali ke Palestina. Padahal sejarah menuturkan bahwa masyarakat heterogen pernah dan selalu hidup berdampingan di sekitar Bait al-Maqdis secara damai dan bersahabat di bawah pemerintahan Umar bin al-Khattab dan Shalahuddin al-Ayyubi. Meski pula sejarah mencatat selalu ada pertempuran sengit antara kebenaran dan kebatilan, nafsu serakah dan kejernihan, kezhaliman dan ketertindasan,
Jika Israel mengerahkan para pakar Yahudi di berbagai negara dengan berbagai latar belakang bahasa dan kepakaran untuk mencapai ambisinya menjadikan al-Quds (Jerussalem) sebagai ibukota Israel Raya, maka seharusnya Umat Islam mampu menjadikan Bait al-Maqdis sebagai magnet yang menarik seluruh bangsa dan kaum Muslim untuk berada dalam orbit keberkahan, melindungi Masjid al-Aqsha. Sekaligus lebih lantang lagi menyedot perhatian dan pembelaan masyarakat internasional bahwa tindakan ilegal pendudukan, pengusiran, penawanan dan berbagai aktivitas brutal lainnya terutama untuk wilayah al-Quds dan penduduknya, harus segera dihentikan dan para pelakunya dihukum dengan setimpal.
Hadirkan orbit-orbit keberkahan di rumah-rumah kita, kantor-kantor kita, kampus-kampus kita, sekolah-sekolah kita, surau-surau dan masjid kita, majelis-majelis taklim kita, sosial media kita, media masa elektronik dan cetak. Bahkan anggota badan kita, mata, telinga, mulut dan indera-indera lainnya memungkingkan untuk mendapatkan sentuhan keberkahan tersebut. Maka, dalam munajat dan alunan-alunan doa sudah semestinya tak terlewatkan untuk permohonan pembebasan Masjid al-Aqsha, orbit keberkahan yang dinantikan oleh banyak orang.
Dr. Saiful Bahri, M.A (Penulis)
*) Keterangan-keterangan di atas dapat dijumpai dalam Mausu’ah Bait al-Maqdis wa Bilad asy-Syam al-Haditsiyah, (Ensiklopedi Baitul Maqdis dan Negeri Syam Modern) terbitan Markaz Bait al-Maqdis li ad-Dirasat at-Tautsiqiyah diNicosia, Cyprus, Cet. 1, 1434 H – 2013 M