Warga Palestina hidup berdampingan dengan penjajah israel di Jalur Gaza hingga tahun 2005. Penjajah israel keluar dari tanah Gaza pada Senin, 12 September 2005. Dengan keluarnya israel, Jalur Gaza menjadi satu-satunya tanah Palestina yang sudah merdeka dari penjajah. Kemerdekaan yang dimaksud bukanlah kemerdekaan nyata sebagaimana negara lain merdeka, tapi merdeka dengan tanpa adanya penjajah di tengah-tengah penduduk. Adapun kemerdekaan hakiki belum dirasakan oleh rakyat karena sejak saat itu Gaza menjadi terisolir secara politik dan ekonomi.
Jalur Gaza bagaikan penjara besar yang dikelilingi kawat-kawat berduri di setiap sudut perbatasan. Hanya memiliki 6 (enam) gerbang penyeberangan, dimana salah satunya sudah ditutup total oleh pihak penjajah. Keenam gerbang tersebut, yaitu:
- Gerbang Rafah: Gerbang satu-satunya untuk keluar masuk manusia dari Gaza ke Mesir, dan sebaliknya.
- Gerbang Minthar (Karni): Gerbang komersial untuk perdagangan. Berada di sisi timur kota Gaza yang berbatasan dengan tanah jajahan. Gerbang ini untuk pergerakan bisnis, khususnya perdagangan sayur mayur ke Tepi Barat.
- Gerbang Beit Hanun (Erez): Berada di sisi utara Jalur Gaza, khusus untuk penyeberangan buruh, pedagang, bisnisman dan tokoh-tokoh penting.
- Gerbang Shufa: Berada di tenggara Khan Younis. Gerbang ini difungsikan untuk penyeberangan buruh dan pengiriman bahan baku bangunan ke dalam Jalur Gaza.
- Gerbang Karem Abu Salim: Gerbang yang berada di selatan Gaza, berfungsi sebagai pengaturan barang-barang yang masuk (impor) ke dalam Jalur Gaza dari Mesir melalui penjajah.
- Gerbang Nahel Auz: Berada di utara gerbang Karni, gerbang ini sudah ditutup total dan beralih fungsi sebagai kawasan militer penjajah. Dulunya difungsikan untuk keluar masuknya buruh dan barang-barang.
Dua bulan setelah penjajah keluar (15/11/2005), Otoritas Palestina dan penjajah menandatangani kesepakatan terkait dengan gerbang penyeberangan di Jalur Gaza. Tujuan dari kesepakatan ini adalah “Mendukung Pengembangan Perekonomian Secara Damai, dan Memperbaiki Kondisi Kemanusiaan pada Tataran Realitas”. Tertulis dalam kesepakatan bahwa gerbang Rafah akan dibuka pada 25/11/2005 dengan managemen administrasi oleh Mesir-Palestina dan diawasi oleh Uni Eropa sebagai pihak ketiga.
Akan tetapi, tujuan yang tertulis hanya untuk pemanis buatan saja. Buktinya, setelah satu tahun pelaksanaan kesepakatan (15/11/2006), israel sama sekali tidak menghormati isi dan semangat konten kesepakatan tersebut. Penjajah selalu menutup gerbang penyeberangan secara sepihak, dengan alasan kondisi keamanan. Alasan lain yang dikemukakan adalah tidak adanya pengawas dari negara-negara Eropa. David Shearer, Kepala OCHA-OPT (Office for the Coordination of Humanitarian Affairs-Occupied Palestinian Territory) berkata terus terang: “Saya yakin sepenuhnya, sangat mustahil mengembangkan perekonomian rakyat Palestina, ketika gerbang-gerbang penyeberangan di Tepi Barat dan Jalur Gaza ditutup total”.
Terlebih ketika gerakan perlawanan rakyat Palestina berkuasa atas Gaza pada Juni 2007, maka israel mengambil keputusan untuk menutup total gerbang penyeberangan sejak 15/6/2007 dan mengembargo wilayah tersebut. Bank Dunia memberikan report tentang aktivitas perekonomian di Jalur Gaza dan Tepi Barat pada November 2007, mengatakan bahwa ketidakmampuan mengaktivasi gerbang penyeberangan dalam urusan perdagangan menandakan ketidakmampuan dalam hal ekspor-impor produk-produk yang telah direncanakan. Hal ini menyebabkan tertutupnya proyek-proyek bisnis, hilangnya modal dan kegiatan luar negeri.
Jika kondisi gerbang penyeberangan di Jalur Gaza sedemikian rupa sejak akhir tahun 2005, maka tidak terbayang bagaimana kondisi perekonomian terkini yang terjadi di dalamnya. Semoga Allah selalu menjaga saudara-saudara muslim di belahan bumi Gaza.
Oleh : Salman Alfarisi