Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan tanggal 20 Juni sebagai hari pengungsi dunia. Penetapan ini berdasarkan kepada penetapan Konvensi 1951 terkait status pengungsi. Melalui konvensi itu PBB mendefinisikan status pengungsi dan menetapkan hak-hak individual untuk memperoleh suaka dan tanggung jawab negara yang memberikan suaka.
Tujuan dari hari pengungsi sedunia ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap nasib para pengungsi. Mereka adalah korban kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah, diantaranya karena dampak dari perang, sehingga hal itu menjadi alasan utama mereka untuk berpindah tempat.
Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) dalam keterangan terakhirnya menyebutkan,angka pengungsi di dunia mencapai hampir 71 juta lebih. Data ini juga menyebutkan perang dan konflik menjadi penyebab utama meledaknya jumlah pengungsi. Dari jumlah tersebut, 26 juta orang mengungsi akibat perang dan konflik, 41 juta orang mengungsi ke tempat lain namun masih dalam negeri mereka masing-masing.
Menarik untuk dikritisi adalah pernyataan UNHCR yang tidak memasukkan Palestina sebagai populasi pengungsi terbesar di dunia. Lembaga PBB ini hanya menyebutkan, lebih dari 2/3 pengungsi di berbagai belahan dunia berasal dari lima negara, yaitu Suriah, Afghanista, Sudan Selatan, Myanmar dan Somalia. Padahal sumber Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) melaporkan, jumlah pengungsi Palestina yang terbanyak di dunia dengan 5,9 juta orang. Masing-masing mereka tinggal di 61 kamp pengungsiaan yang tersebar di Yordania, Lebanon, Suriah serta beberapa negara lainnya.
Secara prosentase penyebaran itu adalah sebagai berikut; Jalur Gaza (24,4%) dan Tepi Barat (17%). Serta di luar Palestina; Yordania (39%), Lebanon (9,1%) dan Suriah (10,5%). Di Palestina sendiri, 42% warganya merupakan pengungsi dari Palestina 48 (tanah Palestina yang diduduki penjajah Israel sejak tahun 1948). Jumlah Warga Palestina sebanyak 4,78 juta jiwa, tersebar di Jalur Gaza sebanyak 1,9 juta jiwa dan Tepi Barat sebanyak 2,8 juta jiwa
Sejak diwacanakannya “Perjanjian Abad Ini” yang digagas oleh Amerika dan sekutunya, permasalah pengungsi Palestina secara perlahan mulai disingkirkan. Ada upaya untuk menghapus istilah pengungsi terhadap bangsa Palestina dikarenakan permasalahan ini menjadi penghalang berdirinya negara penjajah Israel.
Fakta ini bisa didapat dari sikap Amerika yang membekukan bantuannya terhadap lembaga PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA, khususnya pada sektor kesehatan dan pendidikan. Kondisi ini langsung memberi imbas negatif terhadap kehidupan para pengungsi yang berada di bawah tanggungjawab UNRWA. Cara ini secara perlahan ingin melenyapkan permasalahan pengungsi Palestina dari pembahasan dunia.
Langkah yang dilakukan adalah dengan mengaburkan definisi pengungsi, dengan menebarkan opini status pengungsi hanya disandang kepada generasi pertama saja, adapun keturunannya tak lagi disebut pengungsi. Dengan menggunakan definisi ini, maka praktis pengungsi Palestina sudah tidak ada lagi, kalau pun ada hanya tersisa 40.000 dari 5,9 juta pengungsi yang terdaftar. Sehingga tuntutan “Hak Kembali” ke tanah kelahiran yang didengungkan pengungsi Palestina selama ini tak lagi relevan. Karena para pengungsi yang tersisa pun akan diberikan kewarganegaraan sesuai dengan negara yang menampung mereka.
Kendati berbagai upaya dilakukan Amerika dan sekutunya untuk mencabut status pengungsi bangsa Palestina, namun semangat mereka untuk kembali ke tanah kelahirannya sedikit pun tak pernah kendur. Terbukti “Aksi Kepulangan Akbar” yang masih membara hingga saat ini, ekspresi penolakan mereka terhadap kebijakan zalim yang dilakukan penjajah Israel dan Amerika.
Penulis : Muhammad Syarief