Israel pada mulanya mengalami boikot dari Negara-negara Arab selama puluhan tahun, dimulai pada kelahirannya pada tahun 1948. Dalam aksi boikot ini, negara-negara Arab tidak berdagang dengan Israel, menjadikannya terisolasi secara ekonomi. Hal ini membuat Israel menjadi negara yang benar-benar ringkih. Ongkos perdagangan yang tinggi, sangat bergantung pada pasokan bahan baku dan sumber energi.
Dalam boikot sekunder, negara-negara Arab dan negara-negara lain mengancam sanksi terhadap perusahaan yang berdagang dengan Israel, secara dramatis membatasi jumlah perusahaan yang bersedia berdagang dengannya. Barang konsumsi umum dari merek internasional – Pepsi, Toyota, dan banyak lainnya – tidak dapat ditemukan dengan mudah di Israel, dan yang lebih penting sejauh ini, industri Israel tidak dapat mengandalkan masukan dari berbagai bahan baku dan produk industri dari ketiga pihak yang takut dengan boikot ini.
Boikot utama oleh negara-negara Arab terus berlanjut beberapa tingkat (dengan pengecualian Mesir, Yordania dan Otoritas Palestina, yang memiliki hubungan resmi dengan Israel), namun boikot sekunder yang jauh lebih merusak sebagian besar hilang setelah penandatanganan Persetujuan Oslo di 1993. Jalan-jalan Israel tiba-tiba dibanjiri oleh merek mobil besar Jepang, Pepsi dijual, dan industri Israel mulai menggeliat.
Warisan boikot dunia Arab juga membuat ekonomi Israel mahir dalam menangani boikot tersebut. Beberapa perusahaan Israel berpengalaman dalam menggunakan anak perusahaan negara-negara ketiga untuk memotong boikot, di mana mereka masih ada (seperti di sebagian besar dunia Muslim.) Sebagian besar ekonomi Israel secara alami tumbuh untuk memanfaatkan peluang yang kurang sensitif terhadap boikot.
Boikot Gaya Baru
Dalam beberapa hari terakhir ini banyak diberitakan tentang kegiatan BDS (Boycott, Divestment and Sanctions) yang terjadi d dunia internasional maupun di Israel. Salah satunya di University of Manchester, Inggris yang baru-baru ini telah menghapus daftar produk buatan Israel atas desakan mahasiswa.
Toko kampus University of Manchester (UoM) diminta berhenti menjual Sabra Hummus; sebuah merek hummus/selai kacang yang diproduksi di Tepi Barat yang diduduki secara illegal oleh Israel, dimana mahasiswa mengindikasikan adanya pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tersebut.
Sabra Hummus adalah merek terkenal yang penjualannya mencapai 66 persen pasar hummus di AS. Yang jarang disebutkan adalah pemilik merek ini, Pepsi Co. dan Strauss Group, telah banyak memberikan bantuan dana dan produk makanan untuk “Brigade Golani” sebuah elit militer Israel.
Inilah fenomena gaya baru dalam aksi boikot terhadap Israel. Bukan lagi dilakukan oleh negara-negara Arab dan muslim, tapi digerakkan secara masif di negara-negara Eropa dan Amerika. Bukan hanya NGO yang bergerak, bahkan level pemerintahan negara pun mulai menjalankan aksi boikot. Mulai dari Inggris, Perancis, Belgia, Denmark, Finlandia dan Polandia secara tegas mendukung boikot ini, baik boikot ekonomi maupun diplomatik.
Efek Untuk Israel.
Dilaporkan oleh kementerian keuangan Israel bahwa perekonomian Israel telah merugi sebanyakk NIS 40 miliar ($ 10,5 miliar) per tahun dan ribuan orang telah kehilangan pekerjaan akibat boikot dunia internasional. Di samping itu Israel selama 10 tahun ini telah kehilangan dana $ 50 miliar akibat konflik peperangan dengan Palestina.
Dampak dari boikot ini sangat luar biasa bagi Israel. Pemerintah Israel awal Februari telah mengadakan sebuah konferensi hukum internasional melawan gerakan Boikot, Divest dan Sanksi (BDS). Bahkan sebelum pemilihan presiden Amerika Serikat, AIPAC (kelompok Lobi Israel di Amerika) secara khusus membahas tentang BDS bersama para calon presiden Amerika.
Dengan jelas Israel dan jaringan Yahudi Internasional mengatakan bahwa aksi BDS yang telah sangat merugikan ini, akan direspon dengan cara militer, baik secara terbuka maupun dengan intelijen.
Oleh : Iskandar Samaullah