MENGENANG 51 TAHUN PEMBAKARAN MASJID AL-AQSHA
21 Agustus 1969 – 21 Agustus 2020
Hari ini 51 tahun lalu, 21 Agustus 1969, seorang teroris Yahudi berkebangsaan Australia, Dennis Michael Rohan, dengan dukungan sekelompok Yahudi membakar sebagian Masjid al-Aqsha, tepatnya Masjid Jami’ al-Qibli. Api melahap habis perkakas masjid, sebagian tembok masjid, Masjid Umar Bin Khattab, serta Mihrab Nabi Zakaria. Kebakaran juga menjalar ke tiga dari tujuh lorong masjid yang memanjang dari arah selatan ke utara, tulisan kaligrafi ayat pertama surah al-Isra’ yang terbuat dari mozaik emas dan memanjang dua puluh tiga meter ke arah timur juga habis terbakar. Atap masjid yang megah, sajadah, ornamen klasik dan langka, serta seluruh khazanah peninggalan Islam 12 Abad lalu hangus tak tersisa. Sebagian besar bangunan rusak, butuh waktu bertahun-tahun untuk merenovasi bangunan dan membuat kembali ornamen-ornamen itu seperti sedia kala.
Mimbar Nuruddin Zanky atau lebih dikenal dengan Mimbar Shalahuddin Al-Ayyubi juga ikut hangus terbakar. Mimbar berumur 800 tahun itu adalah kebanggaan umat Islam. Shalahudin al-Ayyubi memboyong mimbar itu dari kota Aleppo saat umat Islam berhasil membebaskan Baitul Maqdis tahun 1187. Mimbar yang indah itu sangat istimewa. Karena dibuat atas perintah langsung Sultan Nuruddin Zanky khusus untuk merayakan kembalinya Masjid al-Aqsa ke pangkuan umat Islam.
Israel membantah bahwa masjid itu dibakar dengan sengaja. Beberapa pejabat kementerian dan awak media Israel bahkan menyebut kebakaran itu akibat arus pendek listrik. Tapi kebohongan itu terbongkar setelah ditangkapnya Dennis Michael Rohan dua hari paska pembakaran itu. Seorang Yahudi radikal yang sangat membenci umat Islam dan masjid Al-Aqsha. Langkah Israel menutupi kasus sebenar pembakaran itu dan menutupi keterlibatan mereka semakin terlihat paska dibebaskannya sang durjana dengan dalih sakit jiwa. Aneh tapi nyata, orang gila bisa merencanakan aksi pembakaran dengan sangat rapi dan tertata.
Keanehan lain saat kebakaran adalah seluruh unit mobil pemadam kebakaran di kota Al-Quds tidak beroperasi sama sekali sehingga armada bantuan terpaksa didatangkan dari Hebron dan Ramallah. Rakyat Palestina tumpah ruah bertelanjang dada memadamkan api dengan kemampuan seadanya. Mereka bahu-membahu membuat rantai manusia menimba air dari sumur-sumur kota Al-Quds. Perih membakar kulit akibat kobaran api, sengatan asap tajam menikam mata, tapi kecintaan mereka terhadap al-Aqsha mengalahkan rasa sakit yang mendera. Kendati tak mampu menyelamatkan semua bangunan Al-Aqsha, setidaknya warga Palestina berhasil menghambat api menjalar lebih luas ke pemukiman warga.
Aksi pembakaran Al-Aqsha tentu mengundang murka umat Islam seluruh dunia. Terlebih ketika sang teroris Michael Rohan dibebaskan begitu saja. Tanggal 28 Agustus 1969, 24 negara mayoritas berpenduduk Muslim mengajukan gugatan ke Dewan Keamanan PBB terhadap sikap Israel yang terkesan memandang remeh penistaan dan pembakaran itu. Aksi terorisme itu juga memicu kecaman dunia Internasional. Dewan Keamanan PBB akhirnya mengeluarkan resolusi no. 271 tahun 1969. Resolusi tersebut mengutuk tindakan Israel dan meminta mereka untuk membatalkan seluruh proyek Yahudisasi terhadap kota al-Quds.
Paska pembakaran yang memilukan itu, gelombang kebangkitan umat Islam menemukan momentumnya kembali. Pada 25 September 1969, tigapuluh Negara-negara mayoritas muslim berkumpul di kota Rabat – Maroko dan menginisiasi lahirnya sebuah wadah pemersatu umat Islam dunia yang dikenal dengan nama Organisasi Konferensi Islam (OKI). Organisasi terbesar umat Islam ini lalu berubah nama pada 28 Juni 2011 menjadi Organisasi Kerjasama Islam. 50 Tahun sepanjang kiprahnya, OKI telah banyak berperan dalam mengoptimalkan potensi umat Islam di bilang politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek.
Hari ini, aksi pembakaran itu masih terus dilakukan. Bahkan semakin terstruktur dan sistematis. Ketua Lembaga Tinggi Islam Palestina, Syaikh Dr. Ikrimah Saed Shabri mengatakan, “Pembakaran Masjid Al-Aqsha sejatinya masih berlanjut sampai saat ini. Hanya saja dalam bentuk yang berbeda. Israel membakar Al-Aqsha dengan proyek-proyek Yahudisasi secara massif. Mereka menghancurkan dan menyita rumah-rumah warga Palestina, membangun ratusan ribu kolonisasi bagi warga Israel. Termasuk perusakan dan penggalian terowong-terowong di bawah masjid Al-Aqsha, serta mencegah warga Palestina untuk masuk dan shalat di Masjid Al-Aqsha.”
Masjid Al-Aqsha adalah kota suci umat Islam, kiblat pertama dan tempat Isra’ Mikrajnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sanalah berkumpulnya 124 ribu orang Nabi dan Rasul shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Isra’. Allah ta’ala telah memilihnya menjadi kota suci (Baitul Muqaddas) , dan 12 Abad lamanya para pemimpin umat Islam dan kaum muslimin menjaganya dengan segenap jiwa raga mereka. Maka kekuatan apapun di dunia ini yang mau merebut dan merusaknya, sudah tentu akan berhadapan dengan umat Islam. Syaikh Ikrimah mengatakan, “Umat Islam akan terus menggenggam masjid Al-Aqsha. Al-Aqsha merupakan bagian dari iman dan akidah. Mereka tidak akan menyerahkan sebutir debu Al-Aqshapun kepada penjajah. Suara azan akan terus berkumandang dari Masjid Al-Aqsha.”
Tragedi pembakaran hanya satu dari serangkaian aksi penistaan yang dilakukan Zionis Israel sejak mereka menjajah Palestina tahun 1948. Umat Islam tidak akan membiarkannya terjadi kembali, sebagaimana mereka tidak akan membiarkan warga Palestina menderita terlalu lama. Jika dulu umat Islam sempat lalai membiarkan pembakaran itu terjadi sehingga Golda Meir, Perdana Menteri ke 4 negara Fiktif Israel berkata, “Hari terberat dalam pemerintahanku adalah hari pembakaran Masjid Al-Aqsha. Dini hari saat dilakukan pembakaran, aku merasa panik dan tidak bisa tidur takut reaksi Umat Islam. Namun di pagi hari betapa aku merasa bahagia, karena ternyata kita tengah menghadapi satu Umat yang sedang tertidur lelap”.
Momentum berkabung atas pembakaran masjid al-Aqsha seharusnya menjadi sumbu pembakar bagi rasa kemanusiaan dan kepedulian kita terhadap permasalahan Palestina. Peristiwa itu tidak boleh hilang dari ingatan umat sebagaimana peringatan itu juga tidak dalam rangka semata-mata nostalgia sejarah nestapa umat Islam dunia. Kita ingin ingatan terhadap peristiwa itu melahirkan energi positif dan spirit kebangkitan yang mendorong umat semakin terdepan. Tidak hanya memakmurkan dunia dengan ilmu dan peradaban tetapi juga terdepan melawan tirani dan penjajahan.
Dirgahayu Indonesia, Dirgahayu Palestina, Dirgahayu Dunia Islam.
Merdeka!
Ardiansyah Ashri Husein, Lc., M.A