Di koridor Kompleks Medis Al-Shifa, rumah sakit terbesar di Gaza, pemandangan suram terhampar. Anak-anak dengan anggota tubuh yang diamputasi duduk diam, sementara keluarga-keluarga yang mengungsi berjejer di lorong-lorong, beberapa dengan infus tergantung di pintu, demikian laporan Anadolu Agency (18/9/2024).
Dr. Mohammad Ashraf, seorang dokter gawat darurat Palestina di rumah sakit terbesar di Gaza dan Pejabat Proyek untuk kelompok bantuan medis Turki, Yeryuzu Doktorlari, baru-baru ini kembali dari tugas selama 45 hari di Al-Shifa.
Sebelum serangan israel yang sedang berlangsung di daerah kantong itu, yang kini telah memasuki bulan ke-11, Ashraf telah menghadiri kursus manajemen korban massal dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Kami telah dilatih untuk menangani maksimal 90 korban per jam,” kenangnya. Namun, kenyataan perang jauh melampaui persiapan mereka.
“Selama pengeboman Rumah Sakit Baptis Al-Ahli, kami menerima 500 korban dalam 25 menit di Rumah Sakit Al-Shifa,” kata Ashraf. Banjir pasien ini membuat fasilitas tersebut kewalahan, karena sudah kekurangan peralatan, listrik, bahan bakar untuk generator, dan kebutuhan pokok lainnya.
Bagi tenaga medis, ketegangan akibat perang israel di Gaza sangat parah, dengan sedikitnya 500 orang tenaga medis gugur dan 1.500 lainnya terluka sejak 7 Oktober, dan lebih dari 300 orang ditahan oleh pasukan israel, menurut angka resmi terbaru.
Meskipun menghadapi tantangan ini, para profesional medis di Gaza tetap bertekad, dengan banyak yang membantu orang di empat rumah sakit yang masih berfungsi sebagian – Rumah Sakit Kamal Adwan, Rumah Sakit Indonesia, Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa, dan Rumah Sakit Nasser.
Sumber: Palestine Chronicle