Pemerintahan Netanyahu saat ini tersandera dengan komitmen yang dibuat oleh mereka sendiri. Naiknya pemimpin – pemimpin ekstrimis sayap kanan menjadi menteri seperti Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, buah dari koalisi ringkih pemerintahan Netanyahu, mengakibatkan banyaknya kepentingan yang saling berbenturan.
Terlihat dari kontradiksi saat Netanyahu menandatangani dekrit militer pada 18 Mei, yang mengizinkan pemukim ilegal yahudi israel untuk merebut kembali pemukiman Homesh yang ditinggalkan, yang terletak di Tepi Barat. Di mana justru AS menentang atas tindakan provokatif dan melanggar kesepakatan Internasional ini.
Kontradiksi ini tidak mengherankan karena Netanyahu berusaha mengakomodir kepentingan Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich tanpa menyimpang dari agenda politik AS di Timur Tengah, dan tanpa menciptakan keadaan yang pada akhirnya dapat menggulingkan Otoritas Palestina.
Selain itu, Netanyahu ingin melakukan normalisasi dengan pemerintah Arab, sambil terus menjajah Palestina, memperluas pemukiman dan memiliki kendali penuh atas Masjid Al-Aqsa dan tempat suci Muslim dan Kristen Palestina lainnya.
Lebih buruk lagi, dia ingin, atas desakan Ben-Gvir dan konstituen religius ekstremisnya, untuk mengisi kembali Homesh dan membuat pos-pos baru, sambil menghindari pemberontakan bersenjata habis-habisan di Tepi Barat.
Bersamaan dengan itu, Netanyahu menginginkan hubungan baik dengan orang Arab dan Muslim, sambil terus-menerus mempermalukan, menindas, dan membunuh orang Arab dan Muslim.
Netanyahu menyadari semua kontradiksi ini. Bahkan tidak seperti biasanya para sekutu israel seperti AS bahkan belum pernah mengagendakan pertemuan dengan pemerintahan yang baru ini.
Tapi memuaskan Ben-Gvir dan yang lainnya mengubah israel menjadi negara yang diperintah oleh pemimpin nasionalis yang bertekad untuk memulai perang agama. Dilihat dari bukti di lapangan bagaimana mereka menggunakan jargon keagamaan dan menduduki simbol – simbol agama Islam dan Kristen. Mereka ingin menabur benih kekacauan dan menggunakan kekacauan untuk melanjutkan agenda mereka: lebih banyak pemukiman ilegal, lebih banyak pembersihan etnis Palestina dan pada akhirnya, perang agama.
Karena tekanan-tekanan ini, Netanyahu, dengan agenda ekspansionisnya sendiri, tidak dapat mengikuti cetak biru yang jelas mengenai bagaimana menganeksasi sepenuhnya sebagian besar Tepi Barat dan menjadikan warga Palestina tanpa kewarganegaraan secara permanen. Dia tidak dapat mengembangkan dan mempertahankan strategi yang konsisten karena sekutunya memiliki strateginya sendiri. Sedangkan Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich serta pengikut ekstrimis sayap kanan lainnya tidak peduli terhadap hal itu.
Ini pasti membuat frustrasi Netanyahu yang, selama lebih dari 15 tahun menjabat, telah mengembangkan strategi yang efektif berdasarkan beberapa keseimbangan. Sambil perlahan-lahan menjajah Tepi Barat dan mempertahankan pengepungan dan perang sesekali di Gaza, dia juga belajar berpura-pura menggunakan bahasa perdamaian dan rekonsiliasi secara internasional. Meskipun dia memiliki masalah sendiri dengan Washington di masa lalu, Netanyahu sering menang, dengan dukungan Kongres AS. Dan meskipun dia memprovokasi negara-negara Arab, Muslim, dan Afrika dalam banyak kesempatan, dia masih berhasil menormalkan hubungan dengan banyak dari mereka.
Agenda politik baru Netanyahu sekarang dimotivasi oleh satu tujuan: kelangsungan hidupnya sendiri atau lebih tepatnya, keluarganya, yang beberapa anggotanya terlibat tuduhan korupsi dan nepotisme. Jika pemerintah Israel saat ini runtuh di bawah beban kontradiksi dan ekstremismenya sendiri, hampir tidak mungkin bagi Netanyahu untuk memulihkan posisinya. Jika partai-partai sayap kanan meninggalkan koalisi dan partai Likud Netanyahu, israel akan tenggelam lebih dalam lagi ke dalam krisis politik dan kekacauan sosial yang tampaknya tak berkesudahan.
Untuk saat ini, Netanyahu harus tetap berada di jalur perang yang tidak beralasan, serangan mematikan di Tepi Barat, serangan terhadap tempat suci, mengisi kembali atau membangun pemukiman ilegal baru, memungkinkan pemukim bersenjata melancarkan kekerasan setiap hari terhadap warga Palestina dan seterusnya, terlepas dari apapun.
Pada akhirnya konsekuensi yang didapat adalah meluasnya pemberontakan bersenjata hingga ke seluruh Tepi Barat yang Dijajah.
Selama beberapa tahun ini, fenomena perjuangan bersenjata telah berkembang di Tepi Barat. Di daerah-daerah seperti Nablus dan Jenin, kelompok Perlawanan bersenjata telah tumbuh dan mendapatkan kekuasaan sampai-sampai Otoritas Palestina hanya memiliki sedikit kendali atas wilayah ini.
Fenomena ini juga merupakan hasil dari kurangnya kepemimpinan Palestina sejati yang mewakili dan melindungi warga Palestina dari kekerasan Israel, dan justru secara tidak langsung membiarkan militer Israel untuk beraksi.
Sekarang para pengikut Ben-Gvir dan Smotrich mendatangkan malapetaka di Tepi Barat karena tidak adanya perlindungan bagi warga sipil Palestina, dan para pejuang Palestina mengambil peran sebagai pelindung.
Bagi warga Palestina, perlawanan bersenjata adalah respons alami terhadap pendudukan militer, apartheid, dan kekerasan pemukim. Ini bukan strategi politik semata. Namun bagi israel, kekerasan adalah sebuah strategi.
Bagi Netanyahu, serangan mematikan yang sering terjadi di kota-kota Palestina dan kamp-kamp pengungsi diterjemahkan menjadi aset politik yang memungkinkan dia untuk membuat para pendukung ekstremisnya senang. Tapi ini pemikiran jangka pendek. Jika kekerasan israel yang tak terkendali berlanjut, Tepi Barat dapat segera menemukan dirinya dalam pemberontakan militer habis-habisan melawan israel dan pemberontakan terbuka melawan Otoritas Palestina.