Jalur Gaza merupakan satu-satunya wilayah di Palestina yang sejak tahun 2005 hingga saat ini masih steril dari keberadaan penjajah israel. Sehingga berulang kali zionis israel berupaya untuk menaklukan propinsi dengan luas 360 km² itu, namun berulang kali pula berakhir gagal. Agresi pertama terjadi akhir Desember 2008 hingga awal tahun 2009, dikenal dengan nama perang Furqon, warga Palestina yang gugur sebanyak 1.436 orang. Namun Gaza tetap tegar, tak dapat ditaklukan.
Agresi kedua terjadi di tahun 2012, kali ini tidak berlangsung lama hanya 8 hari, dengan korban gugur sebanyak 162 orang, dan lagi-lagi Gaza masih bertahan. Agresi paling masif dalam 10 tahun terakhir terjadi di tahun 2014, perang terjadi selama 50 hari dengan korban 2.147 orang di pihak Palestina. Namun ternyata para pejuang Palestina begitu tangguh, hingga Gaza masih tegak berdiri dan tentara israel harus menelan kekalahan.
Hal menarik yang perlu dicermati adalah, ketiga agresi tersebut berlangsung di tengah memanasnya politik internal israel, utamanya menjelang pemilu. Polanya menjadikan Jalur Gaza sebagai tumbal untuk menaikkan rating kandidat presiden yang berkompetisi dalam pemilu israel. Pola seperti ini juga diterapkan israel di pertengahan bulan November 2019 ini. Israel mengagresi Jalur Gaza selama 3 hari, sejak tanggal 12-14 November 2019.
Perang ini dipicu oleh serangan israel yang menargetkan seorang komandan pejuang Palestina di Jalur Gaza, hingga berujung kepada serangan balasan dari para pejuang. Ratusan roket dari Gaza menembus langit wilayah yang diduduki israel. Perang ini akhirnya berhenti dengan tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara faksi pejuang Palestina dengan penjajah israel yang dimediasi oleh pihak Mesir.
Selama tiga hari sebanyak 450 rudal dijatuhkan israel di wilayah Jalur Gaza, dengan korban gugur di pihak Palestina sebanyak 34 orang, korban luka sebanyak 111 orang korban dan kerugian materi sebesar $ 500.000. Sedangkan di pihak israel korban luka sebanyak 152 orang.
Gencatan senjata sendiri akhirnya diberlakukan setelah tercapainya tiga kesepakatan, yaitu pertama, israel tidak boleh lagi melakukan pembunuhan terhadap pejuang Palestina, kedua, menghentikan serangan terhadap peserta aksi kepulang akbar, ketiga, israel menyudahi blokade yang selama ini diberlakuakn terhadap Jalur Gaza. Namun kendati ketiga syarat ini dipenuhi, bukan berarti perang berhenti total, karena faktanya di lapangan, pesawat tempur israel masih berputar-putar di langit Gaza dan sesekali menembakkan rudalnya. Para pejuang pun secara spontan membalas dengan menembakkan roket-roketnya.
Bersamaan dengan meletusnya agesi militer ke Jalur Gaza beberapa waktu lalu, di israel sendiri saat ini dalam konstalasi politik internal yang cukup panas, karena setelah dua kali pemilu dilakukan, keduanya berakhir buntu, partai-partai yang ada tidak dapat berkoalisi untuk memimpin pemerintah dengan syarat kursi minimal 50% plus 1 kursi, atau sebanyak 61 dari 120 kursi parlemen yang ada.
Dua kubu penentu yaitu Partai Blue and White (33 suara) dan Partai Likud (32 suara) pimpinan presiden petahana Benjamin Netanyahu, keduanya masih tarik ulur dukungan. Partai Blue and White di bawah pimpinan Benny Gantz mencoba berkoalisi dengan partai lainnya di parlemen, diantaranya partai koalisi Arab, hal ini yang tidak diinginkan oleh Netanyahu, hingga ia bermanuver mencari simpati Gantz dengan cara melakukan agresi militer terhadap Jalur Gaza.
Pertanyaannya, sampai kapan Jalur Gaza menjadi “tumbal” kepentingan para politisi israel? Sehingga mereka tidak lagi menari-nari di atas darah orang-orang Palestina? Jawabannya tentu adalah kemerdekaan, ketika Palestina sudah menjadi negara berdaulat, mereka akan merasakan kedamaian. Maka mari kobarkan terus semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka. Wallahul Musta’an.
Muhammad Syarief, Lc. MH.