Istilah normalisasi secara politik -saat ini yang sedang trending– digunakan untuk mendeskripsikan hubungan antara negara-negara Arab secara khusus dan negara-negara Islam atau yang berpenduduk muslim di dunia dengan Israel. Mengingat permasalahan menghangat di Timur Tengah bermuara pada masalah yang dihadapi Bangsa Palestina yang belum mendapatkan hak kedaulatannya dengan aneksasi Israel terhadap Palestina secara bertahap sejak deklarasi berdirinya di tahun 1948.
Beberapa tahun belakangan ini lobi-lobi normalisasi memasuki jantung politik dan kekuasaan di negara-negara Arab, utamanya negara teluk Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Peresmian Kedutaan Besar Israel di kedua negara tersebut adalah permasalahan waktu saja.
Dengungan normalisasi ini bukan hanya disasarkan pada bidang politik saja, namun ke berbagai bidang termasuk ekonomi, media dan pariwisata. Kantor Imigrasi Israel mencatat peningkatan yang signifikan terjadi di sektor pariwisata dengan naiknya angka kunjungan wisatawan Arab dan muslim ke Israel terutama sejak tahun 2015.
Israel memainkan peran kebijakannya dengan mendekati sejumlah tokoh-tokoh penting di ibukota-ibukota negara-negara Arab untuk menyukseskan gerbong normalisasi ini termasuk ke berbagai negara-negara Islam dengan propaganda-propaganda pariwisata, seminar internasional, kegiatan charity untuk menyedot wisatawan dari berbagai elemen. Para tokoh, akademisi, relawan dan aktivis kemanusiaan adalah target normalisasi mereka.
Sekalipun secara resmi sikap negara Indonesia menolak normalisasi ini, namun kunjungan wisatawan Indonesia ke Israel terus meningkat. Bangsa Indonesia menjalankan amanah konstitusi untuk mendukung dan membantu rakyat Palestina mendapatkan hak kemerdekaan dan kedaulatannya, serta mendorong berakhirnya penjajahan Israel terhadap Bangsa Palestina. Karena itu diplomasi dengan Israel secara politik tidak bisa dilegalkan, Rakyat Indonesia sangat mendukung kebijakan politik luar negeri Pemerintah RI yang berbasis konstitusi tersebut.
Gelombang normalisasi yang menerjang secara global ke berbagai negara ini tentu merugikan Bangsa Palestina yang tidak pernah menghentikan perjuangannya untuk meraih kembali kedaulatannya yang terampas oleh penjajahan dan pendudukan Israel.
Normalisasi ini hanya akan memperpanjang derita Rakyat Palestina di camp-camp pengungsian yang terancam kehilangan hak kembali. Penduduk Gaza juga akan semakin tercekik dengan blokade yang belum juga diselesaikan dan diakhiri. Angka kemiskinan yang semakin menajam naik akan terus memperburuk kehidupan penduduk Tepi Barat. Di al-Quds, pajak-pajak yang menggila akan semakin membuat kesengsaraan penduduk Palestina di sana tertindih beban-beban yang tak bisa dibayangkan oleh orang selain mereka.
Normalisasi di berbagai bidang atau sektor dengan Israel, dimaknai dengan dukungan terhadap kesengsaraan di pihak Bangsa Palestina yang masih timpang mendapatkan haknya di berbagai bidang. Pengungsi, para single parent, para tawanan, pasien-pasien di rumah sakit, semuanya akan terdampak secara langsung dan tak langsung jika gelombang normalisasi ini diamini oleh umat Islam dan negara-negara Arab. Sektor ekonomi dan politik serta eksistensi Israel akan menguat dengan normalisasi, di saat yang sama, dukungan terhadap kedaulatan dan kemerdekaan Palestina akan melemah dan terancam hilang. Pengakuan yang berat sebelah takkan mungkin berlanjut pada terciptanya perdamaian. Penjajahan yang masih terus didukung dengan rasionalisasi-rasionalisasi takkan mengakhiri bencana kemanusiaan yang terus berkelanjutan.
Dr. Saiful Bahri, MA.