“Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (QS Al-Isra’[7]: 01)
Ayat di atas menjelaskan keterkaitan antara Masjidil Haram dan Masjid Al-Aqsha. Dua masjid penting umat Islam. Ada sebuah pertanyaan yang muncul dari keterkaitan dua masjid ini dan peristiwa Isra’ Mi’raj: Mengapa penaklukan kota Al-Quds tidak terjadi pada zaman Nabi Muhammad saw, tetapi justru terjadi pada era Umar bin al-Khatthab ra?
Berita penakulukan itu mulai terlihat sejak dipilihnya Masjid Al-Aqsha sebagai tempat transit Nabi Muhammad saw sebelum beliau mi’râj ke langit dan Sidratil Muntaha. Beliau bahkan sempat mendirikan shalat di sana, berjamaah dengan para nabi dan rasul utusan Allah, bertindak sebagai imam mereka. Bukankah Allah juga sanggup memperjalankan beliau secara langsung dari Masjid Al-Haram di Mekah ke Sidratil Muntaha? Mengapa harus melalui Masjid Al-Aqsha?
Pertama, tentu tempat ini memiliki keutamaan dan sejarah penting. Allah ingin menunjukkan hal tersebut.
Kedua, Allah ingin memberitahu keterkaitan semua risalah di bumi-Nya dengan bumi yang diberkahi tersebut.
Ketiga, Allah hanya akan mewariskan bumi yang diberkahi tersebut kepada kaum yang beriman, dari kalangan manapun, tanpa membedakan jenis kelamin dan etnis mereka.
Terbebasnya Masjid Al-Aqsha melalui tangan-tangan pasukan muslimin pada era Umar, memberikan nuansa cerita perjuangan yang berkesinambungan. Sekaligus menggambarkan bahwa pembebasan Al-Quds tidak bergantung pada figur personal (saja), tetapi lebih kepada keshalihan kolektif.
Tak ada sedikit pun yang meragukan keshalihan personal Nabi Muhammad saw, sebagaimana tak terjadi perbedaan pendapat tentang keshalihan generasi pertama para shahabat. Namun, tentu ada hikmah lain yang dikehendaki Allah, bahwa terjadinya pembebasan Al-Quds dan dikembalikannya Masjid Al-Aqsha ke tangan umat Islam justru terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.
Di antara hikmah tersebut adalah kesinambungan ruh dan jiwa serta keimanan. Ini tersurat jelas dalam fakta bahwa Masjid Al-Aqsha hanya akan diwariskan kepada orang-orang yang beriman. Demikian ditegaskan oleh Allah dari sejak diutusnya para nabi hingga kaum-kaum beriman yang mengikutinya.
Tanah suci Baitul Maqdis merupakan tanah yang hanya diwariskan oleh Allah kepada siapa pun dari hamba-Nya yang beriman, dari mana pun asalnya, tanpa membedakan kesukuan dan etnis serta jenis kelamin.
Allah hanya ingin menegaskan jika pertanyaan di awal tulisan ini setidaknya bisa dijawab. Itulah sebab bahwa pembelaan Al-Quds dan Masjid Al-Aqsha, penjagaan, pemeliharaan, jihad mempertahankan kesuciannya dan seterusnya tidaklah hanya menjadi tanggungjawab nabi-nabi, melainkan menjadi tanggung jawab semua orang beriman yang mengaku mengesakan Allah dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw sebagai utusan-Nya, di mana pun ia berada, berasal dari mana pun, dan berlatar belakang apa pun.
Maka, permasalahan Al-Aqsha dan Al-Quds tidaklah hanya menjadi masalah bangsa Palestina, melainkan juga menjadi masalah seluruh umat Islam, lintas geografi, etnis bahkan lintas generasi, sampai tanah suci tersebut kembali kepada umat Islam.
Keesaan Allah benar-benar ditegakkan di sana. Kira-kira sama seperti saat Umar memasukinya dengan kepala tegak meski tak angkuh dan sombong. Justru penuh tawadhu dan kesederhanaan.
Mengundang decak kagum dan penghormatan. Sarat dengan kesantunan dan toleransi, penuh penghayatan jiwa kemanusiaan sekaligus menjadi penjaganya dari segala bentuk kezaliman, apa pun namanya, siapa pun pelakunya.
Saat Umar memasuki Baitil Maqdis dari Al-Jabiyah untuk menandatangani Piagam Perdamaian dengan penduduk kota, Pendeta Sophronius mempersilakan dan memohon kepada beliau melakukan shalat di Gereja Al-Qiyamah. Namun, Umar menolaknya. Beliau mengatakan, “Jika aku shalat di dalamnya, aku khawatir orang-orang setelahku akan mengatakan ini mushalla Umar, kemudian mereka akan berusaha membangun masjid di tempat ini.” Itulah toleransi sesungguhnya yang diajarkan Umar. Santun dan argumentatif.
Oleh : Dr. Saiful Bahri, MA.