Tanggal 30 Maret selalu diperingati sebagai hari Bumi bagi bangsa Palestina. Hari yang menggelorakan semangat rakyat Palestina untuk pulang ke kampung halaman. Sayangnya kampung halaman yang terpaksa ditinggalkan itu, kini namanya telah diubah penjajah israel, terhitung sejak 71 tahun silam. Namun demikian, para sesepuh mereka masih menyimpan kunci rumah yang dulu ditinggal, sebagai bentuk optimis kelak pasti akan kembali.
Berbeda dengan peringatan hari bumi di tahun sebelumnya, tahun ini bersamaan dengan satu tahun Great March of Return (Aksi Kepulangan Akbar). Sebuah aksi sipil yang mendorong rakyat berbondong-bondong menuju titik terdekat perbatasan dengan wilayah yang diduduki israel. Aksi ini awal kali meletus pada tanggal 30 Maret 2018 lalu, sebagai puncak protes rakyat terhadap blokade israel dan pengakuan Trump terhadap al-Quds sebagai ibukota israel.
Sebenarnya di setiap hari bumi, aksi massa di perbatasan selalu terjadi, semenjak pertama kali meletus pada tanggal 30 Maret 1976. Bedanya, sejak peringatan hari bumi tahun 2018 lalu hingga sekarang, aksi demonstrasi di perbatasan tak kunjung berhenti. Bahkan dikonsolidasikan secara masif dan terjadwal. Peserta aksi terdiri dari lintas usia; anak-anak hingga kakek-nenek turun bergabung. Kondisi inilah yang membuat israel resah, karena dilema menghadapi warga sipil yang apabila dibiarkan, perlawanan mereka semakin menjadi dan mendatangkan kerugian materi.
Terbukti di hari pertama Aksi Kepulangan Akbar, 30 Maret 2018 tentara israel langsung melepaskan tembakan secara brutal, hingga menyebabkan gugurnya 15 orang peserta aksi. Namun hal itu tidak membuat nyali peserta aksi mejadi ciut, mereka melawan dengan benda sederhana seperti ban-ban bekas yang dibakar, balon dan layang-layang api, ketapel dan kerikil. Kendati dengan benda sederhana, ternyata berhasil membuat israel kewalahan, karena tidak sedikit perkebunan pemukim israel yang kemudian ludes terbakar oleh balon api.
Sebulan setelah aksi meletus, April 2018 masyarakat membangun tenda-tenda di perbatasan bagian timur Jalur Gaza. Tenda-tenda itu dipersiapkan sebagai posko yang memudahkan aksi mereka berlanjut tanpa henti. Jadwal aksi pun kemudian dibuat, dan menjadikan hari Jumat sebagai aksi pekanan. Pada tanggal 14 Mei 2018 aksi semakin memanas, karena bertepatan dengan “hari jadi” israel dengan hadiah pengakuan resmi Trump terhadap al-Quds sebagai ibukota israel. Darah kembali tumpah, warga Palestina yang gugur di hari itu sebanyak 60 orang.
Aksi kemudian meluas ke bibir pantai, orang-orang melepas perahu-perahu yang siap berlayar menembus blokade Jalur Gaza dari laut. Aksi berlayar ini kemudian distop oleh boat militer israel dan para penumpangnya mereka tangkap. Sumber data situs aljazeera.net menyebutkan sepanjang aksi di 2018 mereka yang gugur sebanyak 258 orang, sedangkan korban luka lebih dari 17.000 orang.
Walhasil, memperingati genap satu tahunnya Aksi Kepulangan Akbar menjadi lebih populer ketimbang peringatan hari bumi itu sendiri, walaupun aksi ini sebenarnya berangkat dari momen itu. Dari satu tahun perjalanan Aksi Kepulangan Akbar setidaknya memberikan tiga dampak positif.
Pertama, aksi ini menghidupkan kembali permasalahan Palestina di pentas internasional. Sehingga tekanan dan kecaman kepada israel semakin meningkat, bahkan Majelis HAM Internasional PBB menetapkan israel telah melakukan kejahatan perang. Kedua, aksi ini memaksa israel mengurangi tekanannya melalui blokade terhadap Jalur Gaza. Ketiga, memunculkan rasa optimis rakyat Palestina bahwa kembali ke kampung halaman bukanlah mimpi, tapi akan terwujud dan aksi ini merupakan gerbang menuju kesana. Wallahul Musta’an.
Penulis : Muhammad Syarief