Tepatnya seratus satu tahun yang lalu, pimpinan pasukan Inggris Jenderal Edmund Allenby memulai aksi dari Mesir untuk merebut Baitul Maqdis. Allenby memasuki kota suci dengan berjalan kaki, dengan seremoni semangat Perang Salib, seakan membuka kembali sejarah berdarah berabad silam. Setelah 400 tahun, sejarah Palestina akhirnya menuliskan, Baitul Maqdis jatuh ke tangan pasukan Kristen Eropa.
Turki Utsmani kalah dan akhirnya menyerahkan Baitul Maqdis ke Inggris pada tanggal 9 Desember 1917. Tentara Turki Utsmani menarik pasukannya dan menyerahkan Baitul Maqdis kepada komando Inggris dengan sepucuk surat dari gubernur kota :
“Selama dua hari terakhir, bom telah menghujani Baitul Maqdis, kota suci bagi semua umat. Oleh karena itu, Pemerintah Turki Utsmani, untuk menjaga tempat-tempat religius dari kehancuran, telah menarik pasukannya dari kota dan telah menugaskan pejabat untuk menjaga tempat-tempat keagamaan seperti makam suci dan masjid Al-Aqsa. Berharap bahwa perawatan Anda juga akan sama… ” (Isa al-Safari, Filstin al-Arabiyah)
Dua hari kemudian, Allenby memasuki Kota Suci dengan berjalan kaki melalui gerbang Jaffa, menjadi penakluk ke 34 dari Baitul Maqdis. Pertempuran dimulai pada 17 November dan berlanjut hingga 30 Desember, tiga minggu setelah menyerahnya Baitul Maqdis.
Maka berkatalah Allenby, “Perang Perang Salib telah selesai,” dan rakyat Inggris berpesta pora merayakan penaklukan Baitul Maqdis sebagai “hadiah natal untuk orang-orang Inggris.”
Direbutnya Baitul Maqdis menjadi pelipur lara bagi Inggris karena di sisi yang lain Inggris masih bersusah payah untuk melawan Jerman dalam perang dunia pertama.
Peristiwa ini adalah periode yang sering diabaikan oleh para sejarawan. Jatuhnya Baitul Maqdis adalah gambaran tentang Inggris yang berusaha bangkit dari kekalahan melawan Jerman, Turki Ustmani yang sudah sakit-sakitan dan gerakan Zionis Internasional yang mengambil keuntungan dan menjadi dalang dari seluruh pergolakan di dunia Arab hingga hari ini.
Perang Dunia Pertama mengakhiri kekuasan Turki Ustmani dan membuka jalan bagi kebangkitan gerakan Zionis untuk menancapkan kekuasaannya di Palestina
Pendudukan Inggris pada tahun 1917 ini salah satunya dimungkinkan dengan adanya Deklarasi Balfour, janji Inggris untuk membangun tanah air Yahudi dengan mengorbankan orang-orang Palestina. Timbal baliknya, jaringan Zionis Yahudi membantu Inggris di perang dunia ke 1 dengan guyuran dana besar dan membawa Amerika ke kancah perang untuk melawan Jerman.
Inggris melakukan proyek ini bukan karena cinta atau perhatian pada orang Yahudi. Lord Balfour sendiri dikenal sebagai anti Yahudi. Kebencian terhadap Yahudi lah yang membuat Inggris mendukung proyek zionisme ini. Eropa Barat berkepentingan agar gelombang Yahudi yang terusir dari Rusia ini tidak menjadi bibit penyakit di kalangan Eropa.
11 Desember 1917 adalah hari di mana Baitul Maqdis hilang. Pada tanggal ini, Palestina memasuki zaman kolonial. Sejak tanggal ini, Palestina dan Baitul Maqdis terlibat konfrontasi dengan Inggris dan Zionis yang bekerja bersama untuk menciptakan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi.
Pendudukan Inggris memungkinkan Zionisme untuk mendapatkan pijakan di Palestina. Yang terjadi selanjutnya adalah menyiksa orang-orang Palestina melalui pembersihan etnis dan pengusiran, pembantaian, pembongkaran rumah, perluasan pemukiman, penyitaan tanah, kekerasan sehari-hari, serangan terhadap Masjid al-Aqsha, membangun tembok Apartheid dan mengeluarkan lebih dari 40 hukum yang memberatkan Palestina.
Bab terakhir dari kisah ini akan ditulis oleh orang-orang Palestina dan mereka yang bersimpati di seluruh dunia bahwa kolonialisme dan rasisme di Palestina akan berakhir.
Penulis : Iskandar Samaullah