Kemenangan pertama umat Islam dalam pembebasan masjid al-aqsha dilalui tanpa pertumpahan darah, yaitu masuknya Nabi Muhammad seorang diri ke dalam masjid pada tahun 620 M. Masjid al-aqsha dan kota Elia (al-Quds) ketika itu dikuasai oleh Persia. Nabi Muhammad berangkat dan kembali dengan selamat. Beberapa tahun setelah kedatangan Rasulullah, kota Elia kembali dikuasai oleh Romawi.
Enam belas tahun kemudian (636 M.), Umar bin Khattab mengikuti jejak pendahulunya pun tanpa pertumpahan darah. Penaklukan dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah dan penguasa Elia ketika itu, pendeta Sophronius memberikan syarat kepada Abu Ubaidah bahwa kunci kota akan diberikan kepada panglima tertinggi umat Islam. Akhirnya, Abu Ubaidah berkirim surat kepada khalifah Umar untuk segera datang menerima kunci kota Elia. Umar datang dan menerima kunci serta memberikan janji kepada penduduk kota. Janji ini dikenal dengan sebutan “Al-‘Uhdah Al-‘Umariyah”. Setelah itu, masjid al-aqsha bernaung di bawah panji umat Islam hingga kaum salibis merebutnya pada tahun 1099 M.
Tentara salib menguasai masjid al-aqsha selama kurang lebih 88 tahun. Selama masa itu, kaum muslimin berada pada kondisi tidak berdaya dan terusir dari kota yang telah dikuasainya selama ratusan tahun. Hingga datang seorang pembela agama dari luar tanah arab, negeri Kurdi. Namanya Yusuf bin Ayyub, lebih dikenal dengan sebutan an-Nashir Shalahuddin al-Ayyubi.
Kemenangan besar pembebasan masjid al-aqsha dari tentara salib terjadi pada tanggal 2 Oktober 1187 M (831 tahun yang lalu). Shalahuddin memakai tiga tahapan strategi. Tahap pertama, ia menguasai Mesir dari tangan dinasti Fatimiyah. Shalahuddin merubah paham syiah yang menjadi landasan ideologi Fatimiyah menjadi paham Ahlussunnah. Perubahan paham ini memerlukan waktu bertahun-tahun karena sudah menjadi falsafah dasar dinasti Fatimiyah. Tahap kedua, ia menyatukan wilayah-wilayah muslim dari negeri Syam di Utara hingga Mesir di Selatan. Penyatuan ini pun memerlukan waktu lama karena sepeninggal Nuruddin Zanky, wilayah Syam terpecah ke berbagai kabilah. Shalahuddin berhasil menyatukan kembali wilayah-wilayah tersebut tanpa adanya pertumpahan darah. Setelah dua wilayah dikuasai (Mesir dan Syam), maka masuk ke tahap ketiga yaitu kota al-Quds.
Begitulah Shalahuddin mengerahkan upaya besar untuk menyatukan umat Islam. Antara pasukan salib dan pasukan Shalahuddin terjadi banyak sekali pertempuran, dimana pasukan Shalahuddin lebih banyak memenangkan pertempuran tersebut. Diantaranya adalah pertempuran di Hittin kemudian diikuti dengan penaklukan al-Quds.
Sesungguhnya jalan kemenangan itu terbentuk dari keimanan, sikap jujur kepada Allah, dan sikap menghadapi musuh Allah. Momentum awal Oktober adalah momentum kemenangan. Kemenangan itu dimulai dengan keimanan yang kuat kepada Allah, lalu persatuan antara umat Islam yang tidak dapat dipecah dengan isu-isu yang tidak bertanggung jawab. Setelah keimanan dan persatuan dapat berpadu, maka tidak ada satupun kekuatan yang dapat mengalahkannya.
Sejak 1917, kawasan masjid al-aqsha dan kota al-Quds dijajah Britania melalui janji Balfour pada 2 November. Pada 9 Desember, Jenderal Allenby menginjakkan kakinya di al-Quds seraya mengatakan: “Saat ini perang salib telah selesai”. Setelah itu, rakyat Palestina melawan dengan berbagai persenjataan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Ketika mendapatkan perlawanan keras dari rakyat, Britania bermaksud untuk menyelesaikan pendudukannya di Palestina pada 14 Mei 1948. Rupanya, ini taktik mereka untuk menyerahkan penjajahan kepada zionis israel. Tepat pada hari tersebut, israel mendeklarasikan diri sebagai sebuah entitas penjajah di Palestina, menggantikan Britania.
Sudah 70 tahun zionis menjajah (1948 – 2018). Umat Islam mencari sosok Umar bin Khattab atau Shalahuddin al-Ayyubi dalam pembebasan masjid suci ketiga. Apakah dari bangsa arab sebagaimana Umar? Atau dari bangsa Kurdi sebagaimana Shalahuddin? Atau tidak dari keduanya. Apakah menunggu sampai 88 tahun sebagaimana tentara salib berkuasa? Hanya Allah yang Maha Tahu.
Penulis : Salman Alfarisy