15 Mei 1948 diperingati sebagai peristiwa Nakba. Banyak orang yang bersimpati terhadap permasalahan Palestina, namun tak banyak yang mengetahui tentang tragedi Nakba. Nakba adalah terminologi Arab yang berarti musibah, bencana atau malapeta. Bangsa Palestina mengenangnya sebagai momentum dan tonggak memilukan bagi perjalanan sebuah bangsa merdeka yang kini hidup dibawah kungkungan penjajahan Zionis Israel.
Sejak Deklarasi Balfour 1917 yang diajukan negarawan inggris konservatif Arthur Balfour, jalan menuju berdirinya sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi semakin menemukan titik terang, meski harus dibangun diatas derita bangsa Palestina. Inggris yang yang sejak tahun 1918 – 1948 memegang mandat (baca: menjajah) terhadap wilayah Palestina turut andil melempangkan jalan bagi Zionis yahudi untuk mewujudkan misi besar mereka; mendirikan negara Israel di Palestina. Mimpi besar yang bahkan sudah dipropagandakan oleh pendiri gerakan Zionis, Theodor Herzl sejak tahun 1896 yang dia tulis dalam bukunya Der Judenstaat atau artinya “Negara Yahudi”, atau jauh sebelum itu ketika Napoleon Bonaparte ingin berkuasa di wilayah negeri para anbiya dan bermimpi menjadikannya tanah air bagi yahudi.
Peneliti dan sejarawan Palestina, Dr. Muhsin Muhammad Shaleh dalam bukunya mengungkapkan, masa pemerintahan Inggris di Palestina (tahun 1918-1948) telah membuka pintu imigrasi besar-besaran bagi bangsa Yahudi. Populasi orang yahudi di Palestina menjadi berlipat ganda. Diawal penjajahan Inggris, tahun 1918, populasi yahudi di Palestina sekitar 55.000, namun diakhir masa penjajahannya terhadap Palestina (tahun 1918) populasi yahudi meningkat drastis, mencapai 646.000 jiwa. Atau yang tadinya setara 8% menjadi 31 % dari total penduduk Palestina (pada saat itu).
Diantara grand strategi yahudi untuk segera menguasai wilayah Palestina adalah siasat pendudukan. Untuk itu, sejak awal orang-orang yahudi berusaha untuk dapat menguasai sebanyak mungkin kepemilikan tanah di Palestina. Dalam hal ini, Inggris pun memiliki andil besar. Inggris memberikan kemudahan bagi orang-orang yahudi untuk membeli tanah, mereka menguasainya dengan berbagai cara. Sesuatu yang dimasa Sultan Abdul Hamid II (Khalifah Ustmani) yang memerintah di Palestina dilarang keras. Maka, kepemilikan tanah orang yahudi meningkat drastis. Kepemilikan tanah mereka di Palestina antara setengah juta donem (setara dengan 5.000 hektar) atau sekitar 2% dari total luas wilayah Palestina, hingga 700.000 donem (7.000 hektar) atau sekitar 6,3 %.
Dibawah perlindungan penuh pasukan keamanan Inggris, yahudi mampu mendirikan dan membangun infratsruktur dan berbagai lembaga dibidang ekonomi, politik, pendidikan, militer dan sosial. Tahun 1948 mereka telah mendirikan 292 organisasi dan membentuk pasukan militer yang memiliki persenjataan modern seperti Hagana, Urgun, Stern dan lain-lain. Jumlah keseluruhan pasukan ini lebih dari 70.000 personil dan mempersiapkan segala sesuatu untuk mendeklarasikan negara baru mereka.
Organisasi-oraganisasi Zionis ini tentu saja tidak sekedar dilatih tempur dan dipersenjatai. Namun pemuda-pemuda zionis, bahkan pemudi-pemudi mereka kerap kali melakukan aksi-aksi teror terhadap rakyat Palestina, bahkan berujung dengan pembantaian, seperti: pembantaian Haifa (06 Maret 1937), Pembantaian Al Quds (31 Maret 1937), pembantaian Balad Asy Syeikh (6 Desember 1939), Pembantaian Babul ‘Amud ( 29 Desember 1947), Pembataian Ramallah (Maret 1948), Pembantaian Abu Kabir (Maret 1948) dan Pembantaian Deir Yasin (9 April 1948).
Pembantaian-pembantaian diatas hanya sekelumit dari sederet pembantaian yang dilakukan oleh ekstrimis-ekstrimis yahudi sebelum ‘Negara Zionis Israel’ didirikan pada 15 Mei 1948.
Diperkampungan-perkampungan Palestina lainnya, mereka melakukan aksi teror dan membumi hanguskan rumah-rumah dan fasilitas-fasilitas umum warga. Tercatat, ada lebih dari 500 perkampungan Palestina yang dibumi hanguskan dan dirubah menjadi perkampungan yahudi. Hal inilah yang menjadikan tragedi kemanusiaan terbesar tahun 1948 di Palestina, dimana lebih dari 750.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka dan mengungsi ke wilayah-wilayah lain seperti Tepi Barat, Jalur Gaza dan beberapa negera tetangga seperti Yordania, Libanon dan Syiria yang lebih aman dari gangguan ekstrimis-ekstrimis yahudi.
Dari sini dengan sangat mudah kita mengetahui bahwa tahun 1948 adalah tonggak penjajahan yang sesungguhnya yang dilakukan Zionis Israel terhadap Palestina. Dan penjajahan yang dilakukan Zionis adalah penjajahan paling unik yang pernah ada di muka bumi, penjajahan yang dilakukan terhadap bangsa merdeka dan penduduk asli (Palestina) oleh entitas (Zionis) yang datang mengungsi, tidak memiliki tanah air dan negara.
Disinilah pentingnya para politisi dan diplomat untuk mencermati peristiwa Nakba ini, bahwa pencaplokan tanah Palestina bukan diawali dari 1967, sehingga mereka harus mendukung solusi dua negara diatas tanah jajahan 1967. Penjajahan terhadap Palestina oleh Zionis (secara formal) justru telah dimulai sejak 1948. Sejak warga Palestina diteror untuk meninggalkan kampung-halaman mereka, sejak bangsa-bangsa bungkam ketika ribuan tubuh-tubuh Palestina meregang nyawa dalam gorokan pisau dan terjangan timah-timah panas dari moncong-moncong senjata para ekstrimis yahudi. Dan sejak pertama kali ‘Negara Zionis Israel’ yang dideklarasikan tahun 1948 dibangun diatas nestapa bangsa Palestina.
66 tahun, tragedi nakba telah berlalu. Namun dukanya belum hilang seiring bergantinya hari-hari. Nakba terus merenda nestapa; Jalur Gaza yang sudah lebih dari tujuh tahun diblokade Zionis dan menjadi penjara terbesar di muka bumi; Al Quds yang terus diyahudisasi; Masjid Al Aqsa yang seringkali diserbu oleh para ekstrimis yahudi; ribuan tahanan Palestina yang masih mendekam diperlakukan tak manusiawi di penjara-penjara Zionis; hampir 70 % bangsa Palestina hidup terlunta-lunta sebagai pengungsi, bahkan diatas gejolak sebagian negara arab, mereka harus mengungsi dari pengungsian. Sungguh duka yang semakin menganga dan derita yang belum kunjung reda. Maka pertanyaannya, masih adakah kepedulian kita untuk mereka?
Penulis :
Heri Efendi, Lc