GAZA – Di Jalur Gaza, aktivitas keluarga Palestina di sana hanya terbatas kepada bagaimana bisa mengamankan kebutuhan utama; menggunakan energi listrik sehemat mungkin. Terutama keluarga yang rumahnya luluh lantak dan pindah ke pengungsian akibat agresi Israel terakhir. Namun tetap saja mereka tidak aman dari ulah calo dan orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Listrik di Jalur Gaza dalam sehari padam melebihi 18 jam penuh. Pada saat menyala, warga berhamburan men-charge baterai, memanaskan air, memastikan bahan bakar di pembangkit listrik, bahan bakar di kendaraan dan lainnya. Saat padam, mereka segera mencarai sarana lain untuk bisa menjaga suplai bahan penghangat darurat agar tetap bertahan hidup atau berusaha mendapatkan kebutuhan biasa seperti memasak di rumah dan bekerja di kantor yang ada.
Bagi kami hidup seperti itu adalah penderitaan yang dirasakan oleh hampir seluruh warga Gaza. Kami terpaksa sabar menunggu dan mengantre pengisian tabung gas selama berminggu-minggu. Karena ketidakpastian, kami harus menyiapkan gas cadangan. Namun tidak semua agen mau memenuhi kebutuhan cadangan itu karena ketersediaan yang dibatasi oleh Israel masuk ke Jalur Gaza. Jika ingin mendapatkan, kami pun hanya rela antre dalam daftar panjang. Dalam musim dingin dan paling dingin sepanjang sejarah Gaza, kami harus memenuhi kebutuhan penghangat bagi bayi kami yang baru lahir.
Namun usaha kami itu tak selalu berbuah. Lima bulan setelah gencatan senjata pasca agresi Israel ke Jalur Gaza, masih ada lebih dari 100 ribu warga mengungsi di sekolah-sekolah milik PBB atau mengurus urusan mereka di ruma-rumah yang semi hancur. Kami mengira kondisi saat agresi Israel jauh lebih buruk, ternyata kondisi saat ini dibanding saat agresi adalah sama saja.
Ribuan keluarga harus berjuang mati-matian melawan musim dingin menusuk tulang akibat badai salju di sepanjang daerah pinggiran pantai. Dalam kondisi seperti itu, kita mendengar berita bayi-bayi keluarga Palestina yang mereka terusir akibat rumah mereka hancur meregang nyawa dan gugur karena kedinginan. Seperti dialami oleh bayi Rahaf Abu Ashi dari Khan Yunis yang menemui ajalnya karena kedinginan di kamarnya. Rahaf tidak sendiri, ada sekitar tiga bayi Gaza yang menemui ajalnya karena kejamnya blokade. Kami sama sekali tidak mengecam Hamas namun Israel dan masyarakat internasional yang bertanggung jawab atas ini semua derita ini karena mereka yang menutup akses ini.
Wilayah Jalur Gaza dengan penduduk 1,8 juta ini menjadi wilayah terpadat di dunia harus merasakan blokade dari Israel, ekonomi, sumber daya alam dan komunikasi. Israel melarang warga Jalur Gaza keluar. Warga Jalur Gaza yang sebagian besarnya berstatus pengungsi itu harus menghadapi agresi Israel sebanyak tiga kali; agresi pertama 2008 membunuh 1391 orang, kedua (2012) membunuh lebih dari 167 orang dan terakhir paling sadis membunuh 2139 orang, 500 di antaranya adalah anak-anak.
Rekontruksi selama ini hanya janji-janji kosong.
Penulis: Najla Shawa, Kolumnis wanita Palestina tinggal di Jalur Gaza, Ettihad Emirat
Sumber: infopalestina.com