Al-Quds – Surat Kabar zionis israel (Jerusalem Post) mengusulkan agar Perdana Menteri zionis israel Benyamin Netanyahu melakukan ibadah bersama dengan Pangeran Abu Dhabi Muhammad bnu Zayid ketua delegasi UEA yang dijadwalkan tiba di wilayah Palestina terjajah pada tanggal 22 September bulan ini, seperti yang dilansir oleh aljazeera.net pada hari Senin (14/9/2020).
Surat kabar tersebut menyebutkan bahwa pemililhan nama “kesepakatan Abraham” untuk kesepakatan damai dengan zionis israel tidak sia-sia. Menurut surat kabar tersebut “pengakuan hak yahudi untuk beribadah di Temple Mount” (penamaan masjid Al-Aqsha oleh orang yahudi) diperlukan untuk perdamaian antar agama.
Jerusalem post dalam lansirannya yang berjudul “apakah sudah waktunya menormalisasi Temple Mount?”, Jerusalem post menyatakan bahwa banyak sesuatu yang sebelumnya tidak terjadi menjadi terjadi pada hari ini dan telah tiba waktunya untuk menghilangkan hal-hal yang menyulitkan ritual yahudi dilakukan di masjid Al-Aqsha.
Surat kabar tersebut menyarankan agar Perdana Menteri Benyamin Netanyahu dan ketua delegasi UEA ikut serta dalam masjd Al-Aqsha sesuai agamanya masing-masing, dengan tujuan memohon perdamaian, kemakmuran dan stabilitas. Peneliti urusan Al-Quds dan Masjid Al-Aqsha, Ziyad Buhais menilai bahwa usulan ini mengungkapkan aspirasi hak penguasa zionis israel saat ini terkait kesepakatan dengan UEA dan berpendapat bahwa mewujudkan tujuan agama sebagai prioritas utama dibelakang usulan ini. Buhais menujukkan bahwa usulan ini didasarkan pada pendahuluan dasar terhadap masjid al-Aqsha. Pertama, “Kesepakatan Abraham” menggambarkan bukan sebagai kesepakatan dua negara, melainkan kesepakatan agama. Kedua, UEA bukanlah menjadi pengelola masjid Al-Aqsha atau tempat suci Islam lainnya. Namun, deklarasi 3 pihak (UEA-zionis israel-AS) menetapkan paragraph terakhirnya untuk membicarakan masjid Al-Aqsha yang mengadopsi istilah yang tidak disebutkan dalam kesepakatan abad ini. Istilah tersebut yaitu: “muslim yang datang dengan damai, dapat mengunjungi masjid Al-Aqsha, sedangkan situs-situs keagamaan lainnya terbuka untuk seluruh agama”. Kesepakatan tersebut mendefinisikan ulang dan membatasi hak islam hanya terhadap Masjid Al-Qibli. (wm)