Shabra dan Shatilla, merupakan dua nama pemukiman yang berada di bagian barat Beirut, ibukota Lebanon. Keduanya memiliki sejarah berdarah yang tak pernah dilupakan dunia. Tragedi berdarah itu terjadi 36 tahun silam, tepatnya pada hari Kamis, 16 September 1982. Lebih dari 3.000 pengungsi Palestina yang tinggal di dua pemukiman tersebut tewas dibantai dalam waktu 48 jam. Pelakunya adalah tentara zionis israel, dibantu dengan sekutunya dari kelompok milisi bersenjata di Lebanon.
Dahulu, Shabra adalah kampung miskin yang dihuni oleh penduduk Lebanon, letaknya berdekatan dengan Shatilla, sebuah kamp pengungsian Palestina yang ditangani UNRWA, berdiri sejak tahun 1949. Namun karena jumlah pengungsi Palestina ke Lebanon terus bertambah, mereka pun akhirnya ditampung di Shabra, berbaur dengan penduduk setempat.
Pembantaian Shabra dan Shatilla sendiri bermula dari siasat Israel memanfaatkan kekacauan politik yang ada di Lebanon untuk mengusir pengungsi Palestina. Paska meninggalnya Presiden Lebanon Basyir Jamil dalam tragedi bom Beirut pada tanggal 14 September 1982, mulailah skenario genosida ini dijalankan. Jamil yang merupakan representatif dari Kristen Maronit, kematiannya telah membuat kelompoknya marah, dan terhasut provokasi Israel yang menuduh pelakunya adalah para pengungsi dan pejuang Palestina.
zionis israel memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan pembantaian terhadap pengungsi Palestina, yang dimulai pada sore hari tanggal 16 September 1982. Dibawah titah Menteri Perang Zionis, Ariel Sharon, tentara Israel mengisolasi kamp pengungsian itu, dan menutup semua akses masuk ataupun keluar. Lalu pasukan Kristen Maronit dibawah komandan Elie Hobeika mulai melakukan pembantaian selama 48 jam. Disamping bersenjata lengkap mereka gunakan pisau dan kampak untuk menghabisi nyawa para pengungsi. Korbannya terdiri dari anak-anak, perempuan, remaja dan orang tua semua habis dibantai secara sadis. Akses masuk baru dibuka setelah pembantaian berakhir pada tanggal 18 September 1982.
Tidak ada angka pasti tentang berapa jumlah korban dalam pembantaian tersebut, namun beberapa sumber Palestina menyebutkan korbannya sekitar 3.500-5.000 orang. Bukan hanya pengungsi Palestina yang menjadi korban, tetapi juga warga Lebanon yang menempati Shabra.
Sedikitnya, ada empat point yang bisa penulis simpulkan paska tragedi tersebut, pertama, gagalnya upaya Zionis Israel untuk melenyapkan etnis Palestina dari Lebanon. Dimulai dengan pembantaian dan menebar rasa takut di kalangan pengungsi, tujuannya agar mereka keluar dari Lebanon dan menjauh dari Palestina. Tapi faktanya upaya ini gagal, terbukti pengungsi Palestina masih ada di Lebanon hingga sekarang.
Kedua, warga Palestina kendati menjadi pengungsi selama puluhan tahun di Lebanon, mereka mencoba untuk terus bertahan di pemukiman. Alasannya sederhana, mereka tidak mau berada jauh dari tanah Palestina, walaupun Zionis telah mengancam melalui pembantaian Shabra dan Shatilla.
Ketiga, keadilan yang tak kunjung didapat. Pembantaian Shabra dan Shatilla tinggal menyisakan cerita pilu. Paska tragedi berdarah itu, dunia hanya bisa memberikan kecaman. Ariel Sharon tak pernah diadili, bahkan ia bisa leluasa menjabat sebagai Perdana Menteri Israel tahun 2001. Begitu pula komandan pembantaian, Elie Hobeika yang memimpin pasukan Kristen Maronit, ia dibiarkan bebas, bahkan sempat menjabat sebagai anggota parlemen dan menteri di kabinet Lebonon, sebelum akhirnya tewas dalam bom mobil di Beirut pada tahun 2002. Sharon sendiri meninggal setelah 9 tahun menderita stroke dan pendarahan otak pada tahun 2014.
Keempat, jangan pernah berhenti untuk memberi dukungan kepada para pengungsi Palestina di manapun mereka berada. Mendukung secara materi dan memupukkan harapan kepada mereka, bahwa suatu saat nanti Palestina akan merdeka dan hak-hak yang selama ini dirampas akan mereka dapatkan kembali.
Penulis : Muhammad Syarief